Menyikapi Hasil Tes CPNS dengan Filosofi Teras




Bulan November 2018 lalu, Henry Manampiring menerbitkan buku berjudul Filosofi Teras. Sebelum saya mengetahui isi bukunya, saya pikir memang ada filosofi yang bernama “teras”. Biasanya, nama sebuah filosofi erakhiran dengan –isme. Setelah mencari tahu lebih lanjut, sebutan asli filosofi ini adalah stoisisme atau stoa (stoic). Dulu, filosofi ini memang diajarkan di bangunan teras berpilar dihiasi lukisan (stoa poikile).
Sang penulispun akhirnya memakai istilah filosofi teras yang lebih mudah diucapkan. Tertarik dengan ulasan Mbak Fenty dari Narasi Channel tentang buku ini, saya pun membelinya. Dalam setahun, buku ini sudah dicetak berkali-kali (milik saya cetakan yang ke-11) dan sudah tercantum tulisan “National Best Seller” di sampulnya.

Masalah yang diangkat di buku ini adalah bagaimana kita menyikapi dunia yang dipenuhi emosi negatif, membuat stress atau bahkan depresi. Apalagi ditambah masalah di media sosial dengan banyaknya hoax dan perang komentar. Semua itu membuat hidup kita tidak tenang dan bisa saja memengaruhi produktivitas kita.

Lalu, bagaimana kita menyikapinya? Buku ini memberikan jawaban yaitu dengan stoisisme. Ajaran ini pun saya terapkan setiap saya menemui masalah yang membuat pikiran saya tidak tenang. Salah satunya adalah menyikapi hasil tes CPNS (SKD) yang hasilnya sudah keluar akhir Maret lalu.

Sebelumnya, saya mau bercerita sedikit tentang tes CPNS 2019-2020 kemarin. Saya mengikuti tes ini dengan mendaftar di sebuah instansi pusat. Sebagai seorang freelancer yang memiliki keinginan untuk mendapatkan pekerjaan tetap, tes CPNS menjadi sebuah harapan bagi saya untuk mengembangkan karier yang lebih stabil. 

Saya memahami risiko bahwa mendaftar di instansi pusat tentu saingannya sangat banyak. Saya sudah berusaha untuk belajar dan terus berlatih soal-soal tes CPNS setiap hari. Sampai di hari H tes SKD, saya mengerahkan semua kemampuan saya untuk mengerjakan 100 soal dalam waktu 90 menit. Skor saya saat itu lolos passing grade dan saya bersyukur untuk itu. Tapi, saya belum tahu skor peserta lain karena jadwal tes saya di hari pertama sehingga saya belum bisa untuk membandingkan nilai. Saya hanya bisa berdoa semoga skor saya ini masuk ke ranking 3x formasi agar bisa lanjut ke tes berikutnya. 

Dan tibalah hari dimana hasil tes SKD diumumkan. Bagaimana hasilnya?

Saya TIDAK lolos.

Kecewa? Itu sudah pasti.

Galau? IYA.

Saya sempat tidak bisa berpikir jernih selama sehari dan lebih banyak diam. Pupus harapan saya untuk bisa mendapat kesempatan menjadi ASN.

Lalu, saya berpikir bahwa saya tidak bisa galau seperti ini dan membuat saya tidak produktif. Buat apa saya baca buku Filosofi Teras sampai selesai kalau tidak bisa mempraktikannya.

Akhirnya, saya merenung. Mencoba mempraktikkan apa yang ada di buku itu untuk mengatasi kekecewaan saya. Tujuan utama saya adalah segera move on dan tidak galau berkepanjangan.

Inilah langkah-langkah yang saya lakukan untuk mengontrol pikiran saya agar tetap tenang menghadapi kabar tidak menyenangkan ini.

1. Dikotomi/trikotomi kendali

Prinsip dasar filosofi teras adalah dikotomi kendali, yaitu apa yang bisa kita kendalikan (pikiran, persepsi) dan yang tidak (contohnya kekayaan dan ketenaran). William Irvine memperkenalkan trikotomi kendali, yaitu ada sebagian yang bisa kita kendalikan (studi, karier, bisnis). Dalam trikotomi kendali, kita mengontrol internal goal dan harus siap untuk menghadapi hasil apapun yang terjadi.

Untuk bisa lolos tes SKD dengan persaingan ketat tentu saya harus belajar ekstra. Itulah internal goal saya, belajar untuk mempersiapkan tes SKD. Saya merasa sudah maksimal dalam belajar dan berusaha. Itu berarti internal goal saya sudah tercapai.

Lalu, lanjut ke pelaksanaan SKD. Saat pengerjaan ada faktor yang membuat saya tidak begitu fokus dalam mengerjakan soal, yaitu kondisi ruangan. Itu adalah faktor yang tidak bisa saya kendalikan. Yang penting, saya sudah berusaha untuk mengerjakan sebaik mungkin. 

Hampir dua bulan kemudian hasil SKD diumumkan. Saya tidak lolos karena nilai peserta lain lebih tinggi dari saya. Ini adalah sebuah fakta obyektif yang tidak bisa diubah. Saya tidak bisa mengontrol usaha belajar orang lain. Itu bisa dilihat dari hasil tes SKD yang menunjukkan bahwa orang lain lebih mampu mengerjakan soal tersebut dibandingkan dengan saya.

Kemudian, disinilah poin yang paling penting, mengendalikan pikiran saya agar tidak berlarut-larut  berada di lubang kesedihan. 

Saya harus menumbuhkan kesadaran bahwa fakta obyektif itu tidak bisa diubah atau dikendalikan. Hal yang bisa saya kendalikan adalah pikiran saya. Apakah saya mau galau berkepanjangan? Tidak. Apakah hidup saya berakhir jika saya tidak lolos tes CPNS? Tidak. Mereka yang sudah lolos pun perlu melakukan seleksi lagi dan pasti ada yang mengalami kegagalan.

Saya hanya perlu menerima fakta bahwa skor saya tidak termasuk dalam ranking 3x formasi yang berhak lolos ke SKB. Sudah, sampai situ saja. Saya tidak perlu berpikir yang berlebihan dan cukup menerima fakta itu. 

Sampai di titik ini, saya bisa tenang dan menerima fakta tersebut. Saya sudah mencapai internal goal saya dan apapun hasilnya (akhirnya) saya bisa menerimanya.

Apakah berarti saya pasrah terhadap keadaan?
Tidak. Karena ini hal mutlak yang tidak bisa dihindari atau diubah.

Saya menyadari jika saya galau berlebihan saya bisa stres, bisa berdampak pada imunitas yang melemah. Padahal, di tengah pandemi virus corona, imunitas saya harus tetap terjaga. Yang saya lakukan disini adalah menerima fakta yang ada secara rasional.

2. Mengendalikan Interpretasi dan Persepsi

Kelanjutan dari menerima fakta rasional adalah mengendalikan interpretasi dan persepsi. Lagi-lagi, ini adalah hal yang bisa kita kontrol. Saya bisa memaknai apapun terhadap pengalaman saya di tes CPNS kemarin. Saya bisa galau terus-menerus tetapi saya tidak memilih untuk melakukan itu.

Apa yang bisa saya maknai dari kejadian ini?

1. Saya menganggap usaha saya belajar untuk tes SKD bukanlah suatu hal yang sia-sia. Otak manusia perlu diasah dan saya menganggapnya untuk latihan mengasah otak dan mengukur kemampuan saya.
2. Selama perjalanan menuju tempat tes, saya mengamati banyak orang di sekitar. Itu bisa menjadi inspirasi saya untuk menulis dan membuat cerita.
3. Ini menjadi kesempatan untuk fokus dengan karier yang sedang saya bangun. Saya memiliki banyak waktu untuk belajar sesuatu yang baru yang bisa menunjang karier. Saya juga memiliki waktu yang fleksibel untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik.
4. Mereka yang sudah lolos ke tahap selanjutnya pun perlu diseleksi lagi. Berarti akan ada yang tidak lolos. Gagal di tahap pertama atau kedua adalah sama-sama gagal dan itu adalah hal wajar dalam sebuah seleksi.

Henry menjelaskan bahwa mengendalikan interpretasi bukanlah ngeles. Memaknai suatu hal dengan emosi negatif tidak akan mengubah apapun. Jika kita memaknainya dengan positif, makan kita akan merasa lebih tenang, sabar, dan tidak mudah menyerah.

Inilah yang membuat mental kita TANGGUH, seperti tulisan yang ada di sampul buku ini.

3. Memperkuat Mental

Sebelumnya saya merasa khawatir, cemas pada hidup saya, terutama soal pekerjaan dan masa depan. Rasa cemas itu semuanya hanya ada di dalam pikiran kita, belum tentu akan terjadi. Untuk itu, saya mempraktikan premeditatio malorum untuk memperkuat mental saya. Artinya, saya membayangkan semua kejadian buruk yang bisa terjadi. Bedanya dengan kekhawatiran adalah premeditatio malorum sepenuhnya ada dalam kendali kita.

Contoh:
Saya membayangkan tes CPNS kali ini gagal sehingga saya bisa siap menghadapi kemungkinan terburuk dan bisa segera bangkit. 

Sayangnya, saat tes kemarin ekspektasi saya terlalu tinggi untuk bisa lolos sehingga saya sempat merasa kecewa dan galau. Tapi setidaknya saya cepat menyadari untuk segera bangkit dan mengendalikan emosi saya.

Premeditatio malorum bisa menjadi latihan untuk kita dalam menghadapi skenario terburuk dalam hidup. Kegagalan bukan hanya terjadi pada kita tapi kepada semua orang. Dan hidup tetap berjalan, bukan? Ya, setelah saya melihat hidup saya ke belakang dengan berbagai masalah, saya masih bisa menjalaninya dan saya masih baik-baik saja. 

Saya sudah melihat orang lain mengalami kegagalan dan saya pun begitu. Ini adalah hal yang wajar dan tidak perlu dilebih-lebihkan. Kegagalan dan keberhasilan adalah hal eksternal yang ada di luar kendali kita. Hal itu tidak berpengaruh pada baik atau buruknya kehidupan kita. Respon terhadap suatu kesedihan adalah tanggung jawab kita sehingga seburuk apapun suatu kejadian dalam hidup, hal itu masih memiliki makna.

Sebagai penutup, saya bagikan sedikit kutipan untuk membuat mental kita semakin tangguh.

“Constant misfortune brings this one blessings: Those whom it always essails, it eventually fortifies.” – Seneca
“Kesusahan yang datang terus menerus membawa berkah ini: mereka yang selalu tertimpanya, akhirnya akan diperkuat olehnya.”

“Jika kamu ingin seseorang tak goyah saat kriris menghantam, maka latihlah ia sebelum krisis itu datang.” – Seneca

“Kamu sungguh sial jika kamu tidak pernah tertimpa musibah. Karena artinya kamu menjalani hidup tanpa pernah menghadapi ‘lawan’. Tidak ada yang tahu kemampuanmu sesungguhnya-bahkan dirimu sendiri tidak.” - Seneca


0 komentar