Setahun Setelah 25 (Pengalamanku Menghadapi Quarter Life Crisis)


Halo. Kali ini saya mau membahas tentang kehidupan saya yang masih belum ada apa-apanya ini, hehe. 

Sudah dua minggu berlalu sejak bulan November habis. Dua minggu lagi, kita akan menjumpai tahun yang baru sekaligus tahun yang cantik, 2020. Kali ini, saya tidak akan membahas tentang resolusi tahunan yang biasanya penuh wacana. Saya hanya ingin bercerita pengalaman saya menjalani seperempat kehidupan yang banyak membuat orang gelisah, bingung, kalut, dan perasaan-perasaan semacam itu. 


Bagi saya, November adalah bulan yang sangat spesial karena di bulan ini saya dilahirkan ke dunia. Setelah beranjak dewasa, saya menyadari bahwa menghadapi bulan November tidak hanya merayakan ulang tahun, tetapi lebih dari itu.

Tahun lalu, saya menginjak usia 25, usia yang menjadi patokan quarter life crisis. Usia 25 menurut saya adalah usia yang membingungkan. Usia dimana kita dinilai cukup untuk mandiri baik secara single fighter (maksudnya lajang hehe) ataupun membangun keluarga sendiri. Selepas kuliah sampai sekarang, saya masih mencari karir yang cocok dengan kebiasaan dan kepribadian saya. Sebut saja karir saya sekarang ini adalah freelancer. Ya, kalian tahu sendiri kalau freelancer itu kehidupannya tidak pasti hehe. Sampai saat ini saya masih (terpaksa) menikmatinya, tapi saya juga butuh perkembangan. Oleh karena itu, saya terus berusaha untuk mencari pekerjaan tetap. 

Lalu, kenapa usia 25 membingungkan?

Saya akan menjabarkannya dari perspektif seorang "single fighter" yang selalu bertanya akan dibawa kemana hidup ini. Secara teori, usia 25 tergolong dewasa muda. Ketika saya sudah mencapai usia itu, saya merasa "aduh, udah tua nih, udah 25." Pun teman-teman saya juga merasa begitu, walaupun di antara orang-orang usia 30-an ke atas tentu usia 25 masih terbilang muda, bahkan dianggap anak kecil. Ini adalah usia dimana kita tidak cukup muda untuk dibilang muda, dan tidak cukup tua untuk disebut tua (saya kutip dari buku Public Feelings & Other Acts karya Ray Shabir).

Saya masih merasa "get lost" terhadap kehidupan ini. Masih mencari-cari, sementara teman-teman saya sepertinya sudah mantap menjalani kehidupannya (terlihat dari unggahan mereka di media sosial). Saya mencoba menenangkan diri. Pencapaian seseorang itu berbeda-beda. Yang namanya pengen ini itu, target usia segini udah punya ini itu, pasti ada banget keinginan seperti itu. 

Iri sama mereka? Iya. Tapi kehidupan mereka belum tentu sesuai dengan keinginan dan kebutuhan saya. Agar tidak gelisah melihat rumput tetangga yang lebih hijau, saya anggap bahwa apa yang saya dapat saat ini memang sesuai dengan usaha saya. Yang saya butuhkan saat ini ya ini aja, saya belum butuh yang lain, makanya belum dikasih sama Tuhan. Akan ada saatnya saya bahagia dan bisa meraih semua yang saya inginkan dan butuhkan. Itulah yang membuat saya tenang. Selain itu, saya juga mengurangi aktivitas di media sosial. Ini berguna banget untuk fokus sama kerjaan saya, tidak membanding-bandingkan, bersyukur terhadap apa yang sudah saya kerjakan. Saya mengakses media sosial hanya ketika butuh referensi. Toh jika ingin tahu kabar teman-teman saya, saya bisa menanyakan ke teman dekat ketika kami hang out bersama. 

Setelah setahun melewati usia 25, bagaimana rasanya?

Beberapa bulan terakhir ini saya lagi sensitif. Entah karena masalah hormonal (PMS, biasa lah cewek) atau memang lagi sensitif tentang kehidupan, saya nggak tahu. Bisa jadi keduanya. 

Mungkin agak kontra dengan paragraf sebelumnya yang membahas soal bagaimana saya bisa "sedikit" tenang menghadapi 25. Seinget saya di awal-awal memasuki usia 25 saya nggak pernah (atau hampir nggak pernah) nangis. Tapi, entah kenapa dua bulan terakhir saya gampang terpicu untuk menangis. Sepertinya sih karena sudah hampir setahun saya melewati usia 25 dan saya mulai khawatir rencana-rencana yang saya buat tidak berjalan lancar. Saya yang sebelumnya tenang karena masih fokus sama kerjaan, kemudian mulai bertanya: mau sampai kapan?

Saya bold kata-katanya karena disitulah letak masalahnya. Mau sampai kapan bertahan dengan karir ini, mau sampai kapan ragu dengan yang namanya menjalin hubungan, dan pertanyaan "kapan-kapan" yang lain. Selama ini saya terlalu santai karena ayah saya masih bekerja dan saya masih disokong oleh ayah saya. Jadi, walau gaji saya pas-pasan, saya masih bisa hidup layak. Tapi, sebentar lagi ayah saya pensiun dan kondisi finansial saya sudah lebih stabil, sehingga saya bisa membalas untuk menyokong perekonomian keluarga.

Itulah yang membuat saya makin khawatir. Saya belum sepenuhnya mandiri di usia yang seharusnya sudah bisa cari makan sendiri.  

Saya belum bisa mengatakan kalau ini adalah titik terendah dalam hidup, tapi dibanding dengan sebelumnya, di usia ini memang saya sedang dalam posisi yang tidak begitu jelas dan penuh dengan ketidakpastian. Tapi, hidup memang seperti itu. Ada untuk dijalani, bukan diratapi setiap saat. Ada saatnya sedih, tapi ada banyak juga waktu dan cara untuk segera bangkit. 

Oiya, sudah setahunan terakhir saya baca-baca buku self improvement dan semacamnya. Bisa bikin tenang, sih. Tapi yang saya rasakan efeknya sesaat aja pas kita baca buku itu. Saat momennya pas baru bisa bikin kita merasa tenang. Lalu saya tahu kalau ada buku anti self-help oleh Svend Brinkmann judulnya Stand Firm: Resisting the Self-Improvement Craze. 

Lho...kok anti self-help sih? Informasi itu muncul ketika saya lagi gencar-gencarnya cari buku pengembangan diri dan self-help. Saya pun penasaran tapi belum beli bukunya. Next, saya akan membahas buku self-improvement yang saya punya.

Itulah sedikit cerita kehidupan setahun setelah 25 versi saya. 

Untuk mengatasi kegelisahan selama ini, saya akhirnya memutuskan untuk kembali aktif ke dunia blogging. Dengan cara inilah blog Every Sunday lahir. Saya jadikan kegiatan menulis sebagai media untuk mengeluarkan keresahan dan kegelisahan saya selama ini. Selain itu, menuliskan segala sesuatu yang saya sukai juga menjadi terapi bagi saya agar bisa lebih tenang. Itulah sebabnya saya menamakan blog ini Every Sunday agar setiap minggunya saya menghasilkan karya-karya baru dan jadi motivasi saya untuk selalu produktif. Selain itu, saya juga mulai mengikuti kompetisi menulis untuk mengasah skill menulis. Siapa tahu saya bisa dapat rezeki dari menulis :)

Sekian cerita singkat saya tentang quarter life crisisSampai jumpa di cerita berikutnya!


0 komentar